Mengenang Pak Agus Sunyoto
Pagi ini, 27 April 2021, saat terkantuk-kantuk di tengah konferensi online, saya iseng membuka instagram dan menemukan story salah satu teman tentang berpulangnya pak Agus Sunyoto. Seketika kantuk hilang berganti gelayut air mata.
*****
Setiap Jumat di awal 2004 adalah hari yang berat karena ada kelas Sejarah Pemikiran Modern berlanjut Filsafat yang dijeda waktu salat Jumat. Dua mata kuliah tersebut diampu satu orang dosen dan beliau tidak Jumatan sehingga mata kuliah Filsafat pada pukul 12.30 selalu mulai tepat waktu. Saya dan teman-teman yang Jumatan di masjid fakultas tetangga kerap datang terlambat karena beberapa khotib dosen gemar bercerita cukup panjang di atas mimbar. Oh iya, keterlambatan kami juga diperburuk tabiat kami yang kerap mampir sejenak demi beberapa isap di kantin.
Akhir semester, nilai Filsafat keluar dan itu adalah kali pertama dan terakhir saya dapat E. Asal tahu saja, tidak lulus mata kuliah itu berarti mengulangnya tahun depan dan kuliah bersama para adik kelas itu sungguh berat. Apalagi jika kamu sebelumnya menjadi panitia Ospek model dahulu yang selalu menampilkan senior sebagai pihak yang terbenar, sempurna, tanpa cela. Saya dulu pernah menyalami akrab seorang senior divisi bentak-bentak saat ia mengulang mata kuliah structure 1 di kelas saya dengan tujuan menertawakannya. Walaupun posisi saya di kepanitiaan Ospek bukan bagian bentak-bentak, tetap saja saya sungguh malu karena harus ikut kelas yunior.
Secercah kebahagiaan muncul karena ada isu bahwa dosen Filsafat akan diganti seiring kabar banyaknya murid tak lulus. Kabarnya, dosen penggantinya adalah seorang penulis bernama Agus Sunyoto. Dengan sok tahu, saya bilang ke teman-teman bahwa Agus Sunyoto adalah penulis buku-buku sufistik macam Akhirat Tidak Kekal. Sudah terlanjur sok tahu, eh ternyata saya waktu itu belum bisa membedakan Agus Sunyoto dan Agus Mustofa.
Hari pertama kuliah Filsafat bersama pak Agus Sunyoto, kelas hening. Tidak ada yang berani bertanya. Tidak ada yang berani mengobrol. Di kelas Filsafat sebelumnya, sekitar 40 orang pesertanya melakukan beraneka aktivitas, mulai baca koran, mengobrol, makan jajan, hingga bermain catur. Di kelas pak Agus, semua murid seperti tersirap wibawanya sehingga kami hanya terdiam. Kuliah beliau menjadi seru setelah pertemuan ketiga atau keempat ketika kami tahu bahwa beliau menerima pertanyaan dan menjawabnya dengan sangat keren. Kuliah beliau menjadi semakin keren ketika beliau bilang bahwa tidak ada UTS dan UAS. Alasannya, jika kedua tes itu ada dan soalnya dibikin oleh beliau sendiri, beliau yakin tak ada satu pun dari kami yang masih mentah ini bakal lulus. Alasan yang kami amini dengan lantang.
Tahun 2004, Program Bahasa dan Sastra (sebelum berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya) mengadakan Pekan Budaya kedua. Pak Agus diundang sebagai salah satu pembicara utama dalam rangkaian seminar budaya dalam acara tersebut. Saat itu, beliau menjadi pembicara dalam bedah buku Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar jilid 5. Mayoritas hadirin adalah wajah-wajah asing yang saya duga berasal dari luar kampus. Ternyata pak Agus sudah kondang di kalangan tertentu ketika kami masih meraba-raba siapa beliau. Saat seminar tersebut, buku-buku karya beliau dijual di lobi gedung Widya Loka dan saya membeli satu jilid buku beliau yang tengah dibedah tersebut karena saya mendapat tugas membikin resensi untuk buletin Mimesis. Bagi saya yang sebelumnya tidak memiliki pengajar bergelar profesor atau dosen dengan karya yang dikenal luas, diajar dosen yang menulis buku laris adalah kebanggaan tersendiri. Buku tersebut juga adalah buku pertama saya yang ditandatangani langsung oleh penulisnya. Sungguh membanggakan.
Menuju akhir semester, kelas beliau semakin penuh. Semakin banyak senior numpang ikut kuliah dan kami semakin bersemangat berdiskusi dan berdebat di kelas beliau. Beberapa kali pendapat mentah kami mendapat tawa kecil dari beliau. Seperti saat salah satu kelompok mendapat tugas mempresentasikan pokok-pokok ajaran agama Zarathustra dan mereka dengan sangat berapi-api menyajikan isi buku Also sprach Zarathustra karya Friedrich Nietzsche. Sebagai perbandingan, keadaan ini serupa ketika dosen memintamu membuat presentasi tentang hewan pengerat bernama marmut, lalu kamu dengan segenap kepercayaan diri menampilkan paparan mendalam mengenai isi buku Marmut Merah Jambu tulisan Raditya Dika.
Kuliah penutupan beliau penuh sesak. Di pertemuan sebelumnya, beliau mengatakan bahwa kuliah terakhir tersebut akan berisi kesimpulan dari rangkaian perkuliahan Filsafat semester itu. Tak pelak, sekitar 70 orang dari berbagai angkatan dan jurusan menghadiri kelas berkapasitas 40 orang tersebut. Saat kuliah terakhir ini, beliau mewanti-wanti kami akan pentingnya ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan.
Semester berakhir dan kami sekelas mendapat A.
Pada pertengahan tahun 2007, saya mendapat beasiswa kunjungan selama sebulan di Universiti Malaya (UM) Malaysia. Kakak saya berpesan saya harus mencari koneksi profesor di sana bagaimanapun caranya. Nah, salah satu cara mencari koneksi adalah dengan membawakan buah tangan. Waktu itu, saya membawa buku Rahuvana Tattwa karya pak Agus yang sudah saya mintakan tanda tangan juga. Buku tersebut berisi kisah Rama dan Rahwana dari sudut pandang yang tidak lazim di Indonesia karena Rahwana diposisikan sebagai pihak protagonis.
Kurang lebih pekan ketiga di sana, ada acara di kolej (college-asrama) yang saya tempati yang mengundang semua perwakilan kolej di kampus UM. Saat itu, saya mendengar bahwa kolej 2 yang juga disebut kolej Tuanku Bahiyah dipimpin oleh seorang profesor dengan spesialisasi bidang Studi India. Setelah acara tersebut, saya mendatangi kantor beliau untuk menyerahkan buku Rahuvana Tattwa dan kami bertukar alamat email. Beliau juga sempat menjamu saya makan siang di salah satu restoran asli India di Kuala Lumpur yang sedapnya bukan buatan.
Sebulan berlalu. Masa kunjungan usai dan saya pulang ke Indonesia. Saya kembali lagi menekuni skripsi yang terbengkalai berbulan-bulan. Di bulan November atau Desember 2007, tiba-tiba bapak profesor tersebut menghubungi saya. Beliau sedang meneliti tentang Agastya, figur sentral Hindu di Nusantara, di Indonesia. Beliau telah mengunjungi beberapa tempat di Jakarta, Jogja, dan Bali tapi tidak merasa menemukan apapun. Malah rombongannya diajak ke pusat oleh-oleh melulu oleh guide-nya demi mendapatkan persenan. Dalam keadaan setengah putus asa, beliau teringat buku Rahuvana Tattwa yang juga mengetengahkan Agastya. Pak profesor lalu menghubungi saya dan minta dipertemukan dengan pak Agus Sunyoto. Saat saya berhasil membuat janji dengan pak Agus, pak profesor bergegas berangkat ke Malang dari Jakarta.
Singkat kata, pak profesor dan rombongannya berjumpa dengan pak Agus dan putrinya di Toko Oen. Setelah memperkenalkan kedua belah pihak, saya geser ke meja lain karena tak memahami sedikit pun apa yang mereka perbincangkan. Obrolan mereka terlalu tinggi buat saya yang hanya bermodal baca Rahuvana Tattwa. Saya hanya ingat pak profesor dan rombongan membuat banyak catatan dari apa yang disampaikan pak Agus. Selama kurang lebih 3 jam, mereka berlima duduk mendengar dengan takzim sambil tekun mencatat.
Setelah pertemuan usai, mereka mendapat informasi mengenai tempat-tempat di wilayah Malang yang sesuai dengan tujuan penelitian mereka. Pertama, mereka pergi ke Candi Badut di wilayah kota. Candi Badut ini, menurut pak Agus, adalah candi yang justru dibangun khusus untuk Agastya. Saat berada di candi tersebut, rombongan pak profesor girang bukan main karena menemukan situs bersejarah yang memang dikhususkan untuk figur yang tengah mereka teliti. Pak profesor dan rombongannya sempat beribadah beberapa lama di dalam area candi. Setelah prosesi selesai, salah satu dari mereka menghampiri saya sambil terengah-engah dan kurang lebih bilang, “Take us to someplace like this. I met him here. I want to meet him again.” Him? Siapa? Agastya? Mau tanya begitu tapi sungkan. Sampai sekarang saya masih sering kepikiran hal ini.
**********
Ramadan 2013 atau 2014 adalah kali terakhir saya melihat pak Agus Sunyoto saat ada pementasan wayang kulit oleh ki Enthus Susmono di pesantren yang beliau bina. Sedih dan menyesal sekali rasanya tidak bisa sowan-sowan lagi ke beliau karena satu dan lain hal.